Kasus
penyadapan sinyal radio, telekomunikasi dan lalu lintas internet yang
menggemparkan Indonesia belum lama ini menyita perhatian berbagai kalangan.
Selain memang tengah menjadi topik panas, kejadian tersebut sekaligus membuka
mata kita bahwa teknologi telekomunikasi terus berkembang disertai dampak
positif dan negatif.
Dalam
penjelasan Pasal 40, Undang-Undang No.36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi,
tercantum bahwa yang dimaksud penyadapan
adalah kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan
telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah.
Lebih
jauh, menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal
31 Ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan”
adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat,
dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun
jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.
Sementara
dikutip dari wikipedia, penyadapan telepon sendiri mengandung arti pemantauan
percakapan telepon dan internet oleh pihak ketiga, seringkali dilakukan dengan
cara rahasia. Percakapan telepon dapat direkam atau dipantau secara tidak
resmi, baik oleh pihak ketiga tanpa sepengetahuan pihak yang disadap, ataupun
direkam oleh salah satu pihak yang melakukan pangggil telepon.
Penyadapan
telepon dikontrol secara ketat dan pada umumnya dilarang dengan alasan privasi,
namun juga bisa dilegalkan untuk alasan tertentu, sesuai dengan hukum yang
berlaku di negara yang bersangkutan. Undang-Undang Telekomunikasi di negeri ini
pun melarang siapapun melakukan penyadapan telepon, kecuali aparat hukum,
itupun ada syarat yang cukup berat dan prosedur yang harus ditempuh. Di sisi
lain, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan infromasi yng
dikirim atau diterima oleh pelanggan. Adapun ancaman pidana penyadapan diatur
dalam Pasal 56 UU Telekomunikasi yaitu penjara maksimal 15 tahun penjara dan
Pasal 47 UU ITE yaitu penjara maksimal 10 tahun penjara dan atau denda paling
banyak Rp 800 juta.
Kominfo
juga mengingatkan bahwa perakitan, perdagangan dan atau penggunaan perangkat
sadap yang diperdagangkan secara bebas adalah suatu bentuk pelanggaran hukum,
karena bertentangan dengan UU Telekomunikasi. Kementerian Kominfo tidak pernah
memberikan sertifikat perangkat sadap terkecuali yang digunakan oleh lembaga
penegak hukum.
Sayangnya,
sampai sekarang penegakkan peraturan yang lebih tegas perihal penyadapan ini
masih belum terlihat. Bisa jadi, sulitnya menemukan alat bukti telah terjadinya
kasus penyadapan oleh pihak tertentu, menjadi kendala yang membuat jeratan
hukuman bagi pelakunya seolah dipandang sebelah mata.
Tak
berlebihan jika kemudian Anggota Komisi Hukum DPR, Fahri Hamzah bersuara supaya
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) tentang penyadapan. Ia berharap Perpu itu bukan hanya
sebagai upaya menyatukan payung hukum tentang penyadapan, tetapi juga sebagai
respon atas praktik penyadapan oleh intelijen negara lain di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar